Wednesday 20 December 2017

Hakim memenuhi kekosongan hukum forex no Brasil


Adalah pembentukan pengertian-pengertian hukum yang dilakukan oleh hakim dan fungsionaris hukum untuk mengisi kekosongan hukum yang ada di dalam sistem UU. Konstruksi hukum merupakan salah satu alat untuk mengisi kekosongan hukum. Dbbkkk karena peraturan perundang-undangan sifatnya statis tetap sedangkan masyarakat selalu berubah dinamis. Maka akan terjadi kekosongan hukum dalam masyarakat. Berdasar pada asas non liquet bahwa hakim harus memeriksa perkara yang diserahkan kepadanya dan harus memberi keputusan, namun bagaimana apabila ketentuannya tidak adatak jelas maka dalam keadaan inilah hakim melakukan konstruksi hukum. 1. Analog abstraksi pengluasan berlkunya undang-undang, yaitu mempergunakan undang-undang untuk suatu peristiwa yang tidak disebutkan dalam undang-undang tersebut, dengan jalan lain mengabstraksikanmeluaskan isi atau makna undang-undang yang merumuskan suatu peristiwa hukum tertentu menjadi perumusan yang bersifat luas, agar Dapat dipergunakanuntuk mencakup peristiwa-peristiwa lainnya (dari khusus ke hal yang lebih luas). Analog merupakan penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama tetapi penampakan atau bentuk perwujudannya dalam bentuk hukum lain. Metode analógico dilakukan oleh seorang hakim bilamana ia harus mnyelesaikan suatu perkara yang pada mulanya tidak dapat dibawa secara langsung ke dalam lingkungan suatu ketentuan UU. Analogi tidak dapat dipakai dalam hukum pidana karena ada asas legalitas (Nullum delictum nulla poena sine proevina lege poenali). 2. determinação pengkhususanpenghalusan, yaitu membuat pengkhususan dari suatu asas dalam undang-undang yang mempunyai arti luas (dari luas ke khusus). 3. Argumentum Contrario. Yaitu menerapkan hukum dengan cara mempertentangkan (sebaliknya) terhadap suatu peristiwa hukum peristiwa hukum (ketentuan) dalam suatu UU. Atau suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertianpengingkaran soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Penafsiran dan konstruksi merupakan alat penting bagi hakim untuk memutus suatu perkara karena UU itu sempit dan dalam memutus maka seorang tidak harus hanya melihat Undang-undang saja tetapi harus menggali nilai-nilai yang terkandung didalam masyarakat. A. Latar Belakang Masalah Menurut UUD 1945 pasal 15c ayat 1 8220presiden memegang kekuasaam membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dwan Perwakilan Rakyat (DPR), jika suatu rancangan Undang-Undang yang diajukan presiden (pemerintah) tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi Dalam persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 2 UUD-1945). Tetapi dikarenakan terlalu lamanya UU itu disahkan maka keputusan hakim juga diakui sebagai sumber h u kum formal. Dengan demikian telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah: 1. Guna memperoleh gambaran yangt nyata tentang pembentukan suatu hukum. 2. Guna memperoleh informasi tentang macam-macam cara pembentukan hukum. C. Rumusan Masalah Dari latar belakang permasalahan tersebut maka pembatasan masalahnya adalah: 1. Apa saja yang mnjadi faktor pembentukan hukum 2. Apa saja macam-mcam penafsiran hukum Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif, yaitu metode yang menyelidiki dan memecahkan masalah yang Berlangsung pada masa sekarang serta tertuju pada masalah aktual, atau merupakan gejala-gejala yang nampak dewasa ini, sehingga pemecahannya dapat dilakukan berdasarkan yang diperoleh, dianalisis dan kemudian dikembangkan cara pemecahannya, lalu hasilnya dapat dipergunakan sebagai perbandingan untuk menangani masalah yang sama. Instrumento de Sedangkan yang dipakai dalam penulisan makalah ini menggunakan metode studi literatur, yaitu teknik yang dilakukan untuk memperoleh dados yang bersifat teoritis sebagai pendukung untuk mendasari penelitian ini dengan cara membaca berbagai literatur yang relevan dengan penelitian. (Nana Syaodih, 2006. 172) Adapun sistematika dalam penulisan makalah ini adalah. Bab I. Pendahuluan. Latar Belakang, Tujuan, Masalah Rumusan, metode penulisan, sistematika penulisan. Bab II. Penemuan Dan Penafsiran Hukum, mencangkup: a. Pembentukan Hukum Oleh Hakim. B. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum). C. Pengisian Kekosongan Hukum Bab III. Kesimpulan dan saran Penemuan Dan Penafsiran Hukum A. Pembentukan Hukum Oleh Hakim a. Hakim Merupakan faktor Pembentukan Hukum Berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving para Indonésia, menyatakan: keputusan hakim juga diakui sebagai sumber h u kum formal. Dengan demikian telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentukan hukum. Seorang hakim harus bertindak selaku pembentukan huku m dalam hal peraturan-perundangan tidak men y ebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain dapatlah diakatakan, bahwa hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, por Karar peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena itu hakim turut menetukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak, maka Prif. Paul Scholten mengatakan bahwa hakim iut menjalankan 8220rechtsvinding8221 (turut serta menetukan hukum). B. Keputusan Hakim Bukan Peraturan Umum acã tetapi walaupun Hakim ikut menetukan hukum, menciptakan peraturan-perundangan, namun kedudukan Hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan législatif (badan pembentukan perundang-undangan), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, oleh Karena itu keputusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum Yang berlaku Seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 21 A. B. Bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan ang berlaku sebagai peraturan umum. Lebih jauh ditegaskan lagi dalam kitab Undang-undang Hukum Sipil pasal 1917 ayat 1, bahwa kekuasaaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu. Selain itu apabila suatu undang-undang isinya tidak jelas, maka hakim berkewajiban untuk mentafsirkannya sehingga dapat diberikn keputuasan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum. Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan pengertian peraturan-perundangan tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang. Dan agar dapat mencapai kehendak pembuat undang-undang dan sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, maka hakim menggunakan beberapa cara penafsiran peraturan-perundangan. B. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum). Dengan adanya kodifikasi, hukum itu lalu menjadi beku, statis, sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah hakim, karena dialah yang berkewajiban menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat. Walaupun kodifikasi telah diatur selengkap-lengkapnya, namun tetap juga kurang sepurna dam masih terdapat banyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulitkan dalam pelaksaannya. Hal ini disebabkan waktu kodiufikasi dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum dikenal, misalnnya listrik. Aliran listrik sekarang dianggap juga benda, sehingga barang siapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan yang melanggar hukum, yaitu tindak pidana pencurian. Oleh karena hukum bersifat dinamis, maka hakim sebagai penegak hukum hanya memendang kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada kepastian hukum, sedangkan dalam memberi keputusan hakim juga harus mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian maka terdapat keluwesan hukum (rechtslenigheid) sehingga hukum kodifikasi berjawa hidup yang dapat mengikuti perkembangan jaman. Ternyatalah untuk memberi putusan seadil-adilnya seorang hakim harus mengingat pula adat-kebiasaan, jurisprudensi, ilmu pengetahuan dan akhirnya mendapat hakim sendiri ikiu menentukan dan untuk itu perlu diadakan penafsiran hukum. Ada beberapa macam penafsiran, antara lain: 1. Penafsiran tata bahasa (grammatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang di pakai oleh undang-undang Yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut: suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah 8220kendaraan8221 itu. Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan 8220kendaraan8221 itu, hanyalah kendaraan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi. Seringkali keterangan kamus bahasa belum mencukupi. Hakim harus pula mencari kata yang bersangkutan dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lain. Contoh lain dalam Jurisprudensi Negeri Belanda adalah sebagai berikut: Pasal 1140 KUHS memberikan hak mendahului (privilégio) kepada seorang yang menyewakan rumah terhadap segala barang perabot rumah yang terdapat dalam rumah sewaan itu. Hal ini berarti, jika si penyewa menunggak (yaitu tidak membayar) uang sewa, dan pada suatu waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut, maka si pemilik rumah harus di bayar terlebih dahulu daripada penagih-penagih hutang lainnya daru uang pendapatan lelangan barang - barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum di bayar: Dalam kalimat terakhir dalam pasal 1140 ditegaskan: 8220tidak peduli apakah barang narang perabot rumah tersebut kepunnyaan pemilik rumah tersebut atau bukan.8221 Timbullah pertanyaan, apakah pasal 1140 KUHS itu juga berlaku walaupun orang yang menyewakan Rumah itu sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian sewa-menyewa, sudah mengetahui bahwa barang itu bukan milik si penyewa sendiri Dalam kasus seperti ini, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam putusannya tanggal 17 de abril de 1938 telah menjawab 8220iya, 8221 dengan mengambil pedoman 8220art Perkataan-perkataan8221 sebagaimana dipakai dalam undang-undang. 2. Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh Pembentukan Undang-Undang, misalnya pasal 98 KUHP: 8221malam8221 berari waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit pasal 101 KUHP: 8220ternak8221 berarti hewan Yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP buku I Titel IX). 3. Penafsiran historis, yaitu: a. Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah hukum tersebut, sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan. B. Sejaran undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undang0undang pada waktu membuat undang-undang itu misalnya didenda f 25, -, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonésia, sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP itu dibuat. 4. Penafsiran sistematis. (Dogmatis) penafsiran penilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain misalnya 8220asas monogami8221 tersebut di pasal 27 KUHP menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64, 84, KUHS dan 279 KUHS. 5. Penafsiran Nasiaonal. Ialah penafsiran menilik sesuai tidanya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak-milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonésia (Pancasila). 6. Teleologis Penafsiran. (Sosiologis) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi undang-undang tetap sama saja. 7. Penafsiran ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya seperti 8220aliran listrik8221 termasuk juga 8220benda8221. 8. Ipenafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya 8220kerugian8217 tidak termasuk kerugian yang 8220tak terwujud8221 seperti sakit, cacat dan sebagainya. 9. Penafsiran analogis. Memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya 8220menyambung8221 aliran listrik dianggap sama dengan 8220mengambil8221 aliran listrik. 10. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran), ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang di atur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut. Contoh: pasal 34 KUHS menetukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu lampaunya waktu 300 hari Jawaban atas pertanyaan ini ialah 8220tidak8221 karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki dan khusus ditujukan bagi perempuan. Maksud 8220waktu menunggu8221 dalam pasal 34 KUHS ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenai kedudukan cantou anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut undang-undang anak itu adalah anak suaminya yang terdahulu (jika anak itu lahir sebelum lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan terdahulu). Ditetapkan waktu 300 hari karena waktu itu di anggap sebagai waktu kandunag yang paling lama. C. Pengisian Kekosongan Hukum Telah dijelaskan bahwa Badan Legislatif menetapkan peraturan-peraturan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksaan hal-hal yang konkrit diserahkan kepada Hakim, sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Penyusunan suatu Undang-undang kenyataanya memerlukan waktu yang lama sekali, sehingga pada waktu Undang-undang itu dinyatakan berlaku, hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh undang-undang itu sudah berubah terbentuknya suatu peraturan-perundangan senantiasa terbelakang dibanding dengan kejadian-kejadian dalam Perkembangan masyarakat. Berhubungan denga itulah (peraturan-perundangan yang statis dan masyarakat yang dinamis), maka hakim harus sering memperbaiki Undang-undang itu agar sesuai dengan kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat. Dapatlah dikatakan, bahwa hukum positif 8211 peraturan-peraturan perundangan yang berlaku dalam suatu negara dalam suatu waktu tertentu adalah merupakan suatu sistem yang formal, yang sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan-peraturan tersebut. uma. Hakim memenuhi kekosongan hukum Dalam hubungan ini apakah hakim menambah peraturan-perundangan maka hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum formal dari tata hakim yang berlaku. Seperti diketahui pada akhir abad ke-19, para sarjana hukum berpendapat bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan lengkap yang tertutup diluir undang-undang tidak ada hukum dan hakim ta boleh menjalankan keadaa hukum yang tidak disebutkan dalam peraturan-perundangan. Namun kemudian, paham tentang kesatuan yang bulat dan lengkap daripada hukum itu, tidak dapat diterima oleh para sarjana hukum. Prof. Paul Scholten mengatakan, bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuak (sistema aberto van het recht). Pedapat ini lahir dari kenyataan, bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat. Berhubungan denga itulah telah menimbulkan konsekuensi, bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipil paa sistem hukum yang berlaku. B. Konstruksi hukum sebagai contoh pengisian kekosongan dalam sistem hukum dapat disebutkan sebagai berikut: pasal 1576 Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS) mengatakan, bahwa penjualan (jual-beli) tidak dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa sebelum jangka waktu sewa-menyewa itu berakhir ( 8220Koop breekt geen huur8221). Soalnya ialah apakah 8220pemberian8221 dan 8220penukaran8221 dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa tersebut Berdasarkan ketentuan-ktentuan yang mengandung inti kesamaan, maka hakim membuat suati pengertian hukum yang dapat menjadi dasar hukum bagi penyelesaian persoalan tersebut di atas. Dalam soal tersebut, menjual perbuatan. Perbuatan memberi (menghadiahkan), perbuatan menukar dan perbuatan mewariskan mengandung pengertian hukum 8220mengasingkan8221 (vervreemden) suatu benda. Pengasingan (menyerahkan kepada orang lain, memidahtangankan) itu mencangkup penjualan, pemberian, penukaran dan pewarisan jadi pengasingan ialah suatu perbuatan hukum oleh yang melakukannya diarahkan ke penyerahan (pemindahan) sesuatu benda. Berdasarkan inti kesamaan yang ada dalam perbuatan mewaris dan perbuatan menjual itu (yaitu ini kesamaan dalam arti mengasingkan sesuatu benda), maka hakim dapat membat suatu pengertian hukum: pengasingan tidak memutuskan sesuatu perjanjiaa sewa-menyewa. Jadi walaupun pasal 1576 KUHS yang menetapkan, bahwa penjualan tidak dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa sebelum jankan waktu sewa-menyewa itu berakhir, namun ketentuan pasal 1576 KUHS tersebut dapat jua dijalankan terhadap perbuatan memberikan dan mewariskan. Maka jelaslah bahwa perbuatan pemberian atau menukarkan tidak dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa sebelum janka waktu nya berakhir. Dengan demikian, konstruksi hukum hakim dapat menyempurnakan sistem formal dari hukum, yakni sistem peraturan-perundangan yang berlaku (hukum positif). Konstruksi hukum perundang-undangan dinamakan analogi. Meski trocadilho 1576 KUHS hanya menyebutkan kata 8220menjual8221, namun Hakim masih juga dapat menjalankan analogi ketentuan tersebut dalam perbuatan memberi, menukakandan mewariskan secara legaat.

No comments:

Post a Comment